Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Senin, 28 Desember 2015

Pagar Kreatifitas

Share



Tadi, saya tidak sengaja mendengar percakapan antara sepasang kakak beradik. Jadi ceritanya si adik kecil itu sedang menggambar. Lalu sang kakak datang dan protes terhadap gambar yang dibuat adiknya.
"Dek, kok matahari ada dua?"
"Dek, kok pohonnya ungu?"
"Dek, awan tuh warnanya biru"
Dan masih banyak lagi protes yang keluar dari mulut sang kakak mengenai gambar adiknya yang menurutnya tidak 'rasional'.
Dari situ saya berfikir. Inikah penyebab banyak kebuntuan yang dialami oleh orang dewasa kala mengalami rintangan dalam hidupnya? Batasan batasan konkret dan rasional yang tumbuh sejalan dengan bertambahnya umur seseorang lambat laun menghancurkan daya kreatifitas yang mereka miliki. Inilah salah satu penyebab mengapa selalu ada kata "mungkin" bagi seorang anak kecil, dan yang dewasa semakin mengabaikan "kemustahilan".
Memangnya setiap daun harus berwarna hijau? Memangnya langit harus selalu biru? Atau api harus selalu kuning? Bukankah seni itu memiliki kebebasan tak terbatas dalam berkreasi? Dalam seni tidak ada yang benar atau yang salah hanya karena 'biasanya' daun di pohon warnanya hijau.
Begitu pula dengan pergaulan sosial. Misalnya ada ulat di depan pintu. Lalu seseorang bertanya, "apa itu?"
Apakah jawabannya harus selalu "ulat"? Bagaimana jika ada orang yang menjawab, "itu pintu" Atau "itu lantai" bahkan "itu rumah"? Toh sang penanya tidak menunjuk secara spesifik. Toh pertanyaannya hanya sebatas "apa itu?" Bukan "apa yang ada di depan pintu dan di atas lantai".
Beberapa orang akan menyalahkan jawaban tersebut karena pada umumnya orang orang akan menjawab bahwa itu ulat. Batasan batasan dan pagar kreatifitas terbentuk tanpa sengaja melalui kebiasaan sehari hari. Sekarang, siapa yang salah?
Mulailah berfikir lebih luas, hancurkan perlahan pagar pagar kebiasaan yang menghalangi kreatifitasmu. Toh kamu tidak melakukan kesalahan hanya karena mengatakan bahwa dokter itu bekerja di toko kelontong. Atau pensil berfungsi sebagai alat untuk mengganjal jendela yang rusak. Memang benar kan? Kamu tidak salah, kamu hanya kreatif dan berfikir diluar atmosfer "yang terjadi pada umumnya".

Posted via Blogaway


0 komentar:

Posting Komentar